Hukum "Memotong"/ "Memakai" Dana Sumbangan untuk Keperluan Pribadi

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Menerima amanat dari orang lain tentunya harus dapat dipercaya dan jujur. Seperti halnya bila kita dipercaya menjadi aktivis sosial untuk membantu orang-orang yang kurang mampu dengan dana bantuan dari orang lain.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-VDzH0gLW8Z4SvCIkri_59vOHLDAFnyJGG2CK2kmbY8QtsgDIt8Z4wK0S0TvhqYAeZohE1Lnp3K8N9L1cGALJHD2h9Y1e5lcY5zxlWsVhIIdCDOxMTQo7zzMxFn45ENx57Tr06jOxN3WA/s640/1000x500.png

Dalam hal ini kita mengemban amanat untuk menyampaikan sumbangan baik berupa uang maupun barang kepada yang berhak.

Namun bagaimana bila, dari amanat yang berupa materi tersebut kita gunakan sebagian?
Mengutip alilmu.com, hukum meminta sumbangan kepada orang-orang dengan alasan jihad harta. Kemudian ia menggunakan dan menyalurkannya sesuai dengan seleranya, atau tidak sesuai dengan tempat-tempat penyaluran (Zakat, Infaq dan Shodaqoh) yang telah diterangkan oleh Allah dan Rosul-Nya di dalam Al-Qur’an dan hadist-hadits yang shohih dan tanpa memperhatikan niat dan tujuan para penyumbang,
(misal seperti dana infaq pembangunan masjid tapi digunakan oleh panitia penggalang dana untuk membeli dan membebaskan tanah wakaf atau membangun gedung sekolah, dana infaq/shodaqoh untuk santunan fakir dan miskin tapi digunakan untuk modal usaha atau menutup hutang pribadi), maka ini semua hukumnya HARAM, dan itu merupakan perbuatan TIDAK AMANAH.

Apalagi jika uang sumbangan (Zakat, Infaq dan Shodaqoh) tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, atau untuk memperkaya diri, maka yang demikian ini sudah jelas KEHARAMANNYA dan termasuk DOSA BESAR karena ia telah memakan harta ummat Islam yang diinfakkan di jalan Allah tanpa hak.

Sebenarnya adakah hak aktivis yang mengumpulkan, mungkin berapa persen dari dana itu?
Dalam hal ini, ia "Tidak Punya Hak" sama sekali meskipun hanya 0,1 % (nol koma satu persen), kecuali sejumlah dana yang digunakan untuk biaya operasional yang sewajarnya seperti biaya dokumentasi, komunikasi, transportasi yang dapat mempermudah dan memperlancar terselenggaranya program kegiatan dari tujuan penggalangan dana sumbangan (zakat, infaq dan shodaqoh) tersebut.

Kemudian yang sangat penting dan patut dipahami oleh kita semua bahwa Pengertian Amil Zakat ialah setiap orang atau petugas atau lembaga resmi yang diperintahkan atau ditunjuk oleh penguasa/pemerintah muslim untuk memungut zakat dari orang-orang kaya.

Sedangkan panitia-panitia zakat, infaq dan sedekah yang tidak resmi atau tidak diperintah dan ditunjuk oleh penguasa/pemerintah muslim, maka mereka BUKAN amil zakat.

Sehingga dengan demikian mereka tidak berhak mengambil atau mendapat jatah atau upah dari dana sumbangan zakat, infaq dan shodaqoh tersebut. Apalagi jika ia adalah seorang karyawan atau pegawai di suatu instansi atau lembaga pemerintah atau swasta yang sudah mendapat gaji bulanan.

Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Golongan ketiga yang berhak mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa (pemerintah) untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya.

Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil.

Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan, maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain BUKAN dari zakat.” (Lihat Majalis Syahri Ramadhan, hal 163-164).

Syaikh Sholih al-Fauzan hafizhohullah, salah seorang ulama besar dari Arab Saudi, menjelaskan, “Amil zakat adalah para pekerja yang bertugas mengumpulkan harta zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat lalu menjaganya dan mendistribusikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

Mereka bekerja berdasarkan perintah yang diberikan oleh penguasa kaum muslimin. Mereka diberi dari sebagian zakat sesuai dengan upah yang layak diberikan untuk pekerjaan yang mereka jalani kecuali jika pemerintah telah menetapkan gaji bulanan untuk mereka yang diambilkan dari kas Negara karena pekerjaan mereka tersebut.

Jika demikian keadaannya, sebagaimana yang berlaku saat ini (di Saudi, pent), maka mereka tidak diberi sedikitpun dari harta zakat karena mereka telah mendapatkan gaji dari negara.”. (Lihat al-Mulakhkhosh al-Fiqhi I/361-362).

KESIMPULAN:
Bahwa hukum “memotong atau menyunat” dana sumbangan (Zakat, Infaq dan Shodaqoh) yang dilakukan oleh panitia penggalang dana sumbangan adalah TIDAK BOLEH kecuali sejumlah dana yang digunakan untuk biaya operasional yang sewajarnya seperti biaya dokumentasi, komunikasi, transportasi yang dapat mempermudah dan memperlancar terselenggaranya program kegiatan yang merupakan tujuan dari penggalangan dana sumbangan (zakat, infaq dan shodaqoh) tersebut.

Hendaknya para panitia penggalang dana sumbangan bersikap jujur dan amanah serta mengharap pahala dari Allah.
Janganlah menipu umat Islam dengan kedok pemungutan zakat atau penggalangan dana sumbangan untuk kepentingan umat Islam secara umum, baik secara langsung di jalan-jalan, di masjid, mendatangi rumah orang-orang kaya, atau tidak langsung seperti melalui proposal, internet, BBM, WA, dan semisalnya, namun dibalik itu terdapat misi tersembunyi berupa memperkaya diri dan meraih keuntungan darinya yang hukumnya jelas-jelas Haram.

Wallahu A'lam.
loading...
loading...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hukum "Memotong"/ "Memakai" Dana Sumbangan untuk Keperluan Pribadi"

Posting Komentar