Macam-macam Ruqyah yang Boleh dan Tidak

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Sebagai umat Islam kita harus tahu maca-macam dan jenis rukiah (mantera/jampi), biar tidak salah paham dan salah pengamalan. Sebenarnya jenis ruqyah itu ada dua macam:
Satu
Ruqyah Syirkiyah yakni ruqyah yang mengandung kesyirikan, yaitu menggunakan kata-kata atau kalimat atau huruf-huruf tidak jelas, atau mengandung kekufuran, bukan bahasa Arab, baik dibacakan atau dituliskan di kertas, wadah, dan lainnya, bahkan pembacanya sendiri belum tentu tahu maknanya.
Ini termasuk haram menurut ijma (aklamasi ulama), pelakunya tercela dan penggunanya berdosa besar, tetapi termasuk kategori syirk ashghar (syirik kecil). Ini semua harus ditinggalkan.
Berkata Imam An-Nawawi Rahimahullah: “Bahkan, adalah hal yang terpuji meninggalkan ruqyah, yakni ruqyah yang terbuat dari kata-kata orang kafir, majhul (tidak dikenal), bukan bahasa Arab, dan apa-apa yang tidak diketahui maknanya. Ini semua adalah tercela karena maknanya mengandung kekufuran, atau mendekatinya, atau makna yang dibenci.” (Syarh Shahih Muslim, 7/325. Mawqi Islam).
Berkata Imam Al-Maziri Rahimahullah: “Ruqyah yang dilarang adalah jika menggunakan bahasa selain Arab, atau yang tidak diketahui maknanya, yang boleh jadi mengandung kekufuran.” (Ibid)
Maka, ruqyah (mantera/jampi) yang menggunakan bahasa selain Arab, atau tidak jelas dan tidak diketahui makna kata-katanya, atau jelas mengandung kekufuran, maka semua ini haram.
Walau pun menusia menilainya sebagai karya sastra tanah leluhur. Sungguh, masih banyak karya satra lain yang sesuai dengan syariat, yang berisikan hikmah dan pelajaran tentang kehidupan, baik yang berupa cerpen, syair, atau novel.
Ini lebih baik untuk dinikmati dan dikaji. Ada pun jimat, Berikut Fatwa Lajnah Daimah kerajaan Saudi Arabia:
“Karena hal itu menjadikannya musyrik, jika dia meyakini bahwa jimat-jimat itu membawa manfaat dan mudharat, ada pun jika dia meyakininya sebagai sebab saja dan Allah yang memberikan manfaat atau mudharat, maka menggantungkan jimat adalah syirik kecil.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta No. 181)
Tetapi dia bisa menjadi syirk akbar, berikut penjelasan Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullahi:
“Misalnya menggantungkan jimat lantaran khawatir atas kejahatan mata atau lainnya, jika dia meyakini jimat adalah sebab untuk menghilangkan atau menolak bala, maka ini syirik kecil, karena Allah Taala tidak pernah menjadikan jimat sebagai sebab. Ada pun jika dia meyakini bahwa jimat itu sendiri yang mencegah dan menghilangkan bala, maka ini syirik besar, karena dia telah bergantung kepada selain Allah.” (Kitabut Tauhid, Hal. 12. Mawqi Al Islam)
Dua
Ruqyah Syariyyah yaitu mantera/jampi yang menggunakan ayat Alquran, Asmaul Husna, dzikir yang matsur (berasal dari Rasulullah), dan doa-doa perlindungan, dan bebas dari muatan syirik, maka semua ini boleh.
Sebagaimana yang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam rekomendasikan kepada sahabatnya, Auf bin Malik Radhiallahu Anhu. Banyak sekali riwayat dalam Shahihain (Bukhari – Muslim) yang menyebutkan ruqyah dengan al-Quran; seperti dengan Al-Fatihah, untuk orang yang kesengat gigitan hewan.
Membaca Al Ikhlas, Al Falaq dan An Nas ditiupkan ke dua telapak tangan lalu diusapkan ke wajah dan badan menjelang tidur. Membaca doa Allahumma adzhibil basa …dst, untuk orang sakit, dan lainnya.
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah mengatakan: “Ulama telah ijma bolehnya ruqyah jika memenuhi tiga syarat: 1. Menggunakan firman Allah Taala atau dengan asma dan sifat-sifatNya.
Dengan lisan bahasa Arab atau dengan bahasa yang bisa diketahui maknanya selain bahasa Arab. 3. Meyakini bahwa ruqyah tidak meemberikan pengaruh dengan zatnya sendiri, tetapi Allah Taala yang memberikan pengaruhnya.” (Fathul Bari, 10/195. Darul Fikr)
Imam an-Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
“Adapun ruqyah (jampi/mantera) dengan ayat-ayat Alquran, dan dzikir-dzikir yang maruf (dikenal), maka hal itu tidak dilarang, bahkan sunah. Diantara mereka ada yang mengatakan dalam mengkompromikan dua hadits (yang nampak bertentangan), sesungguhnya pujian untuk meninggalkan ruqyah menunjukkan afdhaliyah (hal yang lebih utama), dan kejelasan tawakkal. Dan, orang yang melakukan ruqyah dan diizinkannya hal itu menunjukkan kebolehannya tetapi itu meninggalkan hal yang lebih utama. Inilah yang dikatakan Ibnu Abdil Bar, dia menceritakan dari orang yang menceritakannya. Sikap yang dipilih adalah yang pertama. Mereka telah menukil tentang ijma bolehnya ruqyah dengan ayat-ayat dan kalimat dzikrullah Taala.” (Syarh Shahih Muslim, 7/325)
Imam Al Maziri Rahimahullah mengatakan: “Semua ruqyah adalah boleh jika berasal dari kitabullah atau dzikir.” (Ibid).
Imam Abul Abbas Al Anshari Al Qurthubi Rahimahullah dalam kitab syarahnya terhadap Shahih Muslim, menjelaskan setelah memaparkan hadits-hadits tentang keringanan untuk melakukan ruqyah:
“(Hadits ini) merupakan dalil bahwa pada dasarnya ruqyah itu terlarang, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, sebagaimana riwayat: “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang ruqyah.”
Ini adalah larangan secara mutlak, karena dahulu mereka melakukan ruqyah ketika jahiliyah dengan berisi kesyirikan dan kata-kata yang tidak dimengerti, dan mereka meyakini bahwa ruqyah inilah yang memberikan pengaruh.
Kemudian, ketika mereka masuk Islam yang seperti itu telah dihilangkan dari mereka, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang itu secara umum, agar larangan tersebut lebih kuat dan upaya pencegahan.
Kemudian, ketika mereka menanyakannya dan mengabarkannya, bahwa mereka mendapatkan manfaat dari itu, maka mereka mendapat keringanan pada sebagian hal itu. Nabi bersabda:
“Tunjukkan kepadaku ruqyah kalian, tidak apa-apa jika tidak terdapat syirik di dalamnya.” Maka beliau membolehkan ruqyah untuk setiap bentuk malapetaka seperti sakit, luka, bisul, demam, penyakit mata jahat, dan lainnya, jika ruqyah tersebut dengan kalimat yang bisa difahami dan tidak terdapat kesyirikan di dalamnya, dan tidak sesuatu yang terlarang. Yang paling utama dan bermanfaat adalah: ruqyah yang berasal dari asma Allah dan firmanNya, firman Allah dan ucapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” (Al Mufhim Lima Asykala Ala Talkhishi Kitabi Muslim, 18/65. Maktabah Misykah)
Imam Badruddin al-Aini Rahimahullah menjelaskan:
“Bolehnya ruqyah dengan sesuatu dari Kitabullah, dan juga dengan doa-doa yang matsur atau yang serupa dengan itu. Tidak boleh dengan lafaz-lafaz yang tidak diketahui maknanya, berupa lafaz yang bukan bahasa Arab. Di dalamnya terdapat perbedaan pendapat. Asy Syabi, Qatadah, Said bin Jubeir, dan segolongan lainnya mengatakan ruqyah adalah hal yang dibenci. Wajib bagi seorang mukmin untuk meninggalkannya sebagai upaya memegang teguh kepada Allah Taala dan bertawakkal atas-Nya, percaya denganNya, dan memutuskan hubungan dengan ruqyah.” (Umdatul Qari, 18/303. Maktabah Misykah).
Hal ini dibolehkan menurut jumhur (mayoritas) ulama, sejak zaman sahabat seperti Ibnu Abbas, Abu Qilabah, hingga tabiin seperti Mujahid. Ada pun Ibrahim an-Nakhai memakruhkannya.
Tetapi meruqyah dengan cara membaca adalah lebih afdhal, sebab itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan sahabatnya.
Sumber: inilah.com
loading...
loading...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Macam-macam Ruqyah yang Boleh dan Tidak"

Posting Komentar